Wednesday, November 25, 2009

Dari Prosesor Super ke Akhir Dunia

Dari Prosesor Super ke Akhir DuniaKata kiamat hari-hari belakangan ini jadi barang laris di percakapan pojok kafetaria, lapak film bajakan hingga mimbar tempat ibadah. Dan setiap kali kata itu ditiupkan, tanggapan beragam, dari yang tenang-tenang saja, cemas hingga sontak kalut. "Tiap orang memiliki fantasi masing-masing tentang kiamat," kata seorang aktor Inggris Simon Pegg.

Simon tidak salah betul. Kiamat tak pelak erat berkait dengan fantasi atau imajinasi. Rujukan utama tentu saja kitab suci agama-agama utama dunia. "Akan ada gempa maha dahsyat, kelaparan dan sampar di segala penjuru bumi," kata sebuah halaman Injil Lukas.

Daya imajinasi yang tak terukur memberi ruang bagi munculnya berbagai visualisasi tentang kiamat, atau bahkan Kiamat. Dan dengan bentuknya yang nyaris sempurna, penggambaran itu terekam di atas pita seluloid, dan ditembakkan ke layar-layar bioskop yang angkuh. Kita pun disodorkan The War of the Worlds, Deep Impact, The Day After Tomorrow. Serta yang terbaru, 2012.

Di antara banyak film bertema bencana lainnya, reaksi terhadap 2012 amat menonjol. Kemunculannya didahului dengan ramainya artikel yang ada di internet tentang nubuat bangsa Maya, sebuah peradaban kuno dengan sistem matematika dan astronomi unggul di Mesoamerika, suatu daerah geografis yang membentang dari Meksiko hingga Kosta Rika. Banyak orang percaya ramalan itu bercerita tentang akhir dunia, yang mengambil waktu 21 Desember 2012.

Apakah film 2012 memang berdasar atas legenda suku Maya? Roland Emmerich, sang sutradara, yang juga populer dengan Independence Day, Godzila, dan The Day After Tomorrow, dalam suatu wawancara dengan MTV berujar bahwa ia sama sekali tak tertarik dengan ramalan bangsa Maya itu. "Tapi saya punya satu proyek tentang suku Maya, meskipun Mel Gibson akhirnya lebih dulu membuat Apocalypto," ujarnya.

Kala itu, ia sedang ingin membuat karya tentang banjir besar, meskipun sesungguhnya ia telah jemu dengan film bencana. Namun, kopenulis Harald Kloser berkata, "Itu ide bagus. Kau harus mewujudkannya."

Merasa mendapatkan dukungan, Emmerich berpikir ibu dari segala film bencana itu wajib diproduksi. Lantas timnya membongkar segala literatur untuk menemukan teori yang mendukung asumsi bahwa bumi dapat musnah terendam air. Tak dinyana, penemuan seorang guru besar dekade 1950an bernama Charles Hapgood menjadi pembuka jalan. Sang profesor menulis buku tentang teori pergeseran kerak bumi. Bahkan fisikawan termasyhur Albert Einstein pernah mengiriminya surat pujian karena telah menambat teori itu.

Dari hasil penelitian timnya, ia lantas memutuskan bahwa filmnya harus memuat berbagai peristiwa yang terjahit dengan rangkaian gempa, tsunami dan gunung api yang terangkat dari mahligainya. "Semua ini mesti benar-benar dikerjakan sepenuhnya dengan bantuan komputer," pikirnya saat itu.

Begitulah, dalam film tersebut pemirsa memang takkan melihat tampilan karakter yang utuh dan kuat, dibandingkan dengan sajian film-film Spielberg, Coppola, Woody Allen ataupun Scorsese. Penonton hanya akan dicukupkan oleh pemandangan yang bikin pening sebab layar sebesar itu hanya melulu memantulkan mobil terlontar ke langit California, jutaan manusia mati dalam derita, aspal terbelah dan pencakar langit ambruk.

Sesungguhnya, film itu bercerita tentang sebuah keluarga retak yang harus menyelamatkan diri dari kehancuran dunia, yang berporos pada Jackson Curtis, seorang sosok ayah yang dimainkan dengan amat bersemangat oleh John Cusack. Ia seorang penulis novel fiksi ilmiah kapiran beranak dua yang telah lama pisah ranjang dengan istrinya.

Suatu siang yang celaka, Curtis dan kedua anaknya mengunjungi situs wisata kawah Yellowstone. Di sana ia bertemu dengan Charlie Frost, penyiar radio yang memercayai kiamat terjadi pada tahun 2012. Si penyiar mengungkapkan segala yang ia percaya, meskipun Curtis sama sekali menihilkannya.

Kisah Charlie ternyata berangsur terbukti. California, tempat mereka tinggal, dikerkah gempa sempurna. Tanah rengkah. Rumah goyah. Jembatan berantakan. Curtis membawa anak-anak dan istrinya, serta lelaki-baru istrinya, menembus kota yang mulai binasa. Mereka coba menuju tempat rahasia di mana bahtera bersandar. Negeri Cina.

Kebetulan demi kebetulan pada akhirnya mampu mengantar mereka menuju dermaga tempat kapal gigantis itu bersandar.
Yang jelas menonjol dari film 2012 adalah efek visual. Pada banyak adegan, kita bisa melihat sebuah pesawat perintis meliuk-liuk di antara gedung yang bertumbangan. Atau sebuah limosin, yang dikendarai oleh Curtis, dikejar oleh aspal yang mulai terangkat. Puncaknya, adaalah adegan ketika seorang biksu di puncak Himalaya dikunyah tsunami yang datang dari samudra.

Tidak mudah, nyatanya, untuk membuat efek semacam itu. Pun, tidak murah. Biaya produksi nyaris menyentuh Rp 2 triliun. 100 seniman turun tangan menangani 1.315 efek visual termasuk letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan rangkaian gempa yang memporakporandakan California.

Uncharted Territory, rumah produksi yang bertanggung jawab atas pengerjaan efek visual 2012, memiliki sekumpulan seniman yang mampu merekayasa beberapa blok kota dengan menggunakan 60.000 gambar yang rentang dinamis visualnya tinggi.

Pada bagian lain, Emmerich mengambil adegan para aktor di depan layar biru. Mereka berdiri di atas lantai-berguncang yang terbuat dari plat baja seluas 2.600 meter persegi memuat kantong udara. Goyangan ditujukan untuk memancing respons spontan dari para pemeran berupa teriakan, mimik orisinal, dan tentu saja gerak-gerak gugup.

Kini, mari sedikit melirik karya Emmerich yang lain sebagai pembanding, Independence Day. Film itu bercerita tentang makhluk angkasa luar ganas yang berniat menghancurkan bumi dengan menggunakan kapal berbentuk piring terbalik super canggih yang antipeluru. Awalnya manusia sejagat mengira para alien itu akan memulai persahabatan. Tapi dugaan meleset.

Kota-kota besar dunia hancur satu demi satu, termasuk Washington DC bersama landmark utamanya, Gedung Putih. Ya, Anda sudah tentu tahu lanjutannya.

Ketika film itu tayang tahun 1996, ia dianggap sebagai terobosan dalam hal efek visual. Volker Engel, koproduser sekaligus penanggung jawab efek visual 2012 yang juga menangani Independence Day, mengungkapkan film itu 'cuma' butuh 400 efek visual dibandingkan 2012. "Independence Day merupakan salah satu film terakhir yang menerapkan model-miniatur raksasa," tukasnya.

Para kru menciptakan miniatur dan membuat serangkaian penghancuran di atas panggung. Pengambilan gambar miniatur itu sendiri memakan sembilan bulan. 2012 hanya butuh sedikit sekali miniatur dengan dua hari shooting. Sisanya, diserahkan kepada komputer.

Lain gempa, lain tsunami. Lain bencana, lain pula tekniknya. Jika untuk mendulang kesempurnaan efek gempa film itu masih membutuhkan model dan miniatur, tsunami sama sekali tidak. Elemen kuncinya, komputer.

Menurut Marc Weigert, sejawat Engel di divisi efek visual, membuat animasi komputer tentang seseorang yang menuang anggur ke dalam gelas bukan masalah. "Yang jadi problem," ia tegaskan, "adalah ketika tim harus menciptakan gelombang setinggi satu mil."

Sebuah software yang mampu menggabungkan berbagai simulasi menjadi penting dalam proses itu. Sebab, tsunami yang menggulung dunia di film itu merupakan kumpulan simulasi. "Butuh 600 komputer untuk mengerjakannya," tambahnya tentang efek tsunami itu di 30ninjas.com, sebuah blog yang banyak mengulas tentang efek visual.

Masing-masing komputer, yang dipersenjatai delapan prosesor, menciptakan sebuah simulasi. Tim yang bekerja tak butuh lagi waktu berminggu-minggu untuk melihat hasil lengkapnya. Mereka selalu dapat mengintip gubahan simulasi setiap dua hari sekali. "Kami jadi punya banyak pilihan untuk mengarahkan efeknya hingga benar-benar sempurna," katanya.

Tim 2012 sesungguhnya memakai semacam komputer berkemampuan super untuk menyempurnakan efek kehancuran dunia. Jika memang kiamat itu kehendak Tuhan, maka 2012 terjadilah.

No comments:

Post a Comment